jangan lihat siapa yang berbicara, tapi apa yang dibicarakannya
(sayyidina Ali karomallohuwajhah)

we come from nothing, we're going back to nothing, what have we lost? NOTHING
(anonim)
non conformity in my innerself, only I guide my innerself
(max cavalera/sepultura)

Sabtu, 22 Mei 2010

Cinta sebagai Agama (Jalaluddin Rakhmat)


Pada zaman dahulu, hidup seorang gembala yang bersemangat bebas. Dia tidak punya uang dan tidak punya keinginan untuk memilikinya. Yang dia miliki hanyalah hati yang lembut dan penuh keikhlasan; hati yang berdetak dengan kecintaan kepada Tuhan. Sepanjang hari ia menggembalakan ternaknya melewati lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya kepada Tuhan yang dicintainya. “Duhai pengeran tercinta, di manakah Engkau, supaya aku bisa persembahkan seluruh hidupku padaMu? Dimanakah Engkau, supaya aku bisa menghambakan diriku padaMu? Wahai Tuhan, untukMu aku hidup dan bernafas. Karena berkatMu aku hidup. Aku ingin mengorbankan dombaku ke hadapan kemuliaanMu.”

Suatu hari, Nabi Musa a.s. melewati padang gembalaan tersebut dalam perjalanannya menuju kota. Ia memerhatikan sang gembala yang sedang duduk di tengah ternaknya dengan kepala yang mendongak ke langit. Sang gembala menyapa Tuhan, “Ah, di manakah Engkau, supaya aku bisa menjahit bajuMu, memperbaiki kasutMu, dan mempersiapkan ranjangMu? Di manakah Engkau, supaya aku bisa menyisir rambutMu dan mencium kakiMu? Di manakah Engkau, supaya aku bisa mengkilapkan sepatuMu dan membawakan air susu untuk minumanMu?”

Musa mendekati gembala itu dan bertanya, “Dengan siapa kamu berbicara?” Gembala menjawab, “Dengan Dia yang telah menciptakan kita. Dengan Dia yang menjadi Tuhan yang menguasai siang dan malam, bumi dan langit.” Musa murka mendengar jawaban gembala itu, “Betapa beraninya kamu berbicara kepada Tuhan seperti itu! Apa yang kamu ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus menyumpal mulutmu dengan kapas supaya kamu bisa mengendalikan lidahmu. Atau paling tidak, orang yang mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung dengan kata2mu yang telah meracuni seluruh angkasa ini. Kau harus berhenti berbicara seperti itu sekarang juga karena nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini akibat dosa2mu!”

Sang gembala segera bangkit setelah mengetahui bahwa yang mengajaknya bicara adalah seorang nabi. Dia bergetar ketakutan. Dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya, dia mendengarkan Musa yang terus berkata, “Apakah Tuhan adalah seorang manusia biasa, sehingga Dia harus memakai sepatu dan kaus kaki? Apakah Tuhan seorang anak kecil, yang memerlukan susu supaya Dia tumbuh besar? Tentu saja tidak. Tuhan Mahasempurna di dalam diriNya. Tuhan tidak memerlukan siapapun. Dengan berbicara seperti itu, kau bukan saja merendahkan dirimu, tapi juga merendahkan seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari seorang penghujat agama. Ayo, pergi dan minta maaf, kalau kau masih memiliki otak yang sehat!”

Gembala yang sederhana itu tidak mengerti bahwa apa yang dia sampaikan kepada Tuhan adalah kata2 yang kasar. Dia juga tidak mengerti mengapa Nabi yang mulia telah memanggilnya sebagai seorang musuh, tapi dia tahu betul bahwa seorang Nabi pastilah lebih mengetahui dari siapapun. Dia hampir tak bisa menahan tangisnya. Di berkata kpd Musa “Kau telah menyalakan api di dalam jiwaku. Sejak ini aku berjanji akan mengatupkan mulutku untuk selamanya.” Dengan keluhan yang panjang, dia berangkat meninggalkan ternaknya menuju padang pasir.

Dengan perasaan bahagia karena telah meluruskan jiwa yang tersesat, Nabi Musa a.s. melanjutkan perjalanannya menuju kota. Tiba2 Allah Yang Mahakuasa menegurnya, “Mengapa engkau berdiri di antara Kami dengan kekasih Kami yang setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dan yang dicintainya? Kami telah mengutus engkau supaya engkau bisa menggabungkan kekasih dengan kekasihnya, bukan memisahkan ikatan di antaranya.” Musa mendengar kata2 langit itu dengan penuh kerendahan dan rasa takut. Tuhan berfirman, “Kami tidak menciptakan dunia supaya Kami memperoleh keuntungan darinya. Seluruh makhluk diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak membutuhkan pujian atau sanjungan. Kami tidak memerlukan ibadah atau pengabdian. Orang2 yang beribadah itulah yang mengambil keuntungan dari ibadah yang mereka lakukan. Ingatlah bahwa di dalam cinta, kata2 hanyalah bungkus luar yang tidak memiliki makna ap2. Kami tidak memerhatikan keindahan kata2 atau komposisi kalimat. Yang Kami perhatikan adalah lubuk hati paling dalam dari orang itu. Dengan cara itulah Kami mengetahui ketulusan makhluk kami, walaupun kata2 mereka bukan kata2 yang indah. Buat mereka yang dibakar dengan api cinta, kata2 tidak mempunyai makna.”

Suara langit selanjutnya berkata, “Mereka yang terikat dengan basa basi bukanlah mereka yang terikat dengan cinta. Dan umat yang beragama bukanlah umat yang mengikuti cinta. Karena cinta tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri.” Tuhan kemudian mengajarkan Musa rahasia cinta.

Setelah Musa memperoleh pelajaran itu, dia mengerti kesalahannya. Sang Nabi pun menderita penyesalan yang luar biasa. Dengan segera, dia berlari mencari gembala itu untuk meminta maaf. Berhari2 Musa berkelana di padang rumput dan gurun pasir, menanyakan kpd orang2 apakah mereka mengetahui gembala yang dicarinya. Setiap orang yang ditanya selalu menunjuk ke arah yang berbeda. Hampir2 Musa kehilangan harapan, tetapi akhirnya Musa berjumpa dengan gembala itu. Dia tengah duduk di dekat mata air. Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut masai. Ia berada di tengah tafakur yang dalam sehingga tidak memperhatikan Musa yang telah menunggunya cukup lama.

Akhirnya, gembala itu mengangkat kepalanya dan melihat kepada sang Nabi. Musa berkata, “Aku punya pesan penting untukmu. Tuhan telah berfirman kepadaku bahwa tidak diperlukan kata2 yang indah jika kita ingin berbicara kepadaNya. Kamu bebas berbicara kepadaNya dengan cara apapun yang kamu sukai, dengan kata2 apapun yang kamu pilih. Karena ap yang aku duga sebagai kekafiranmu ternyata adalah ungkapan dari keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia.” Sang gembala hanya menjawab sederhana, “Aku sudah melewati tahap kata2 dan kalimat. Hatiku sekarang sudah dipenuhi dengan kehadiranNya. Aku tak dapat menjelaskan keadaanku padamu dan kata2 pun tak bisa melukiskan pengalaman ruhani yang ada dalam hatiku.” Kemudian ia bangkit dan meninggalkan Musa.

Nabi Musa menatap gembala itu sampai ia tidak terlihat lagi. Setelah itu Musa kembali ke kota terdekat, merenungkan pelajaran berharga yang didapatnya dari seorang gembala sederhana yang tidak berpendidikan.

Cerita itu melukiskan bahwa kalau seseorang telah meledakkan kecintaanya kepada Tuhan, dia tidak lagi bisa menemukan kata2 yang tepat utk melukiskan seluruh kecintaannya kepada Allah SWT. Dari kisah ini juga kita belajar bahwa untuk bisa mendekati Allah SWT tidak diperlukan kecerdasan yang tinggi atau ilmu yang mendalam. Salah satu cara utama adalah hati yang besih dan tulus. Tidak jarang pengetahuan kita ttg syariat membutakan kita dengan Tuhan. Tidak jarang ilmu menjadi hijab yang menghalangi kita dengan Allah SWT.

Nabi bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya Tuhan tidak memerhatikan bentuk2 luar kamu. Yang Tuhan perhatikan adalah hati kamu.”
(dikutip dari buku THE ROAD TO ALLAH….karya: Jalaluddin Rakhmat….semoga bermanfaat)

4 komentar:

  1. Edan sangar tenan postinganmu bro!!!

    Ra koyo nggonku, dangkal polll....

    Oiyo, digawe read more wae men ra ngebak2i Home, jal searching2..

    BalasHapus
  2. terimakasih kawan...saranmu sangat membantu...
    akan kuperbaiki...

    BalasHapus
  3. kok tuhan menggunakan kata 'kami' ya? kirain cuma sama nabi muhamad aja..

    BalasHapus
  4. kami tu Tuhan bersama perantara2 nya bi...

    BalasHapus