jangan lihat siapa yang berbicara, tapi apa yang dibicarakannya
(sayyidina Ali karomallohuwajhah)

we come from nothing, we're going back to nothing, what have we lost? NOTHING
(anonim)
non conformity in my innerself, only I guide my innerself
(max cavalera/sepultura)

Jumat, 23 September 2011

Catatan dari konferensi Suicide Prevention Beijing

Alhamdulillah pada tanggal 13 s/d 17 September kemarin saya mendapatkan kesempatan untuk mengikuti konferensi internasional "Suicide Prevention" yang saya ikuti di Beijing. Sedikit cerita akan saya share di sini.
Konferensi tersebut diadakan oleh sebuah organisasi internasional bernama IASP (International Association for Suicide Prevention) yang merupakan sebuah NGO yang secara resmi berada di bawah payung WHO. IASP bukanlah organisasi yang muda lagi, karena pada tahun ini organisasi tersebut yang waktu itu bernama "The centre for care of those tired of living" telah berusia 51 tahun. Didirikan pada tahun 1960 di Wina, Austria oleh seorang profesor bernama Erwin Ringel bekerjasama dengan para psikiater, psikolog, dokter, pengacara, dan agamawan. Sekarang IASP telah beranggotakan lebih dari 50 negara di seluruh dunia.

Konferensi ini adalah yang kesekian puluh kali dilaksanakan oleh IASP, dan pelaksanaannya hampir bertepatan dengan world suicide prevention day yang jatuh pada tanggal 10 september yang lalu. Dalam konferensi selama 5 hari tersebut, dihadiri peserta yang berasal dari berbagai negara dari 5 benua. Mereka saling tukar informasi tentang budaya, model, penyebab, dan penanganan kasus bunuh diri di negaranya masing-masing.

Secara garis besar, data statistika menunjukkan bahwa tingkat kasus bunuh diri terbanyak didominasi oleh negara-nrgara maju seperti Amerika, Jepang, Korea, Australia, dan China. Sedangkan metode bunuh diri yang paling populer adalah dengan cara menyayat urat nadi dan mayoritas pelakunya adalah dari kalangan anak muda. Untuk faktor penyebab munculnya percobaan ataupun tindakan bunuh diri yang paling utama adalah depresi. Depresi tersebut bisa muncul dari pengalaman2 seperti kegagalan dalam pendidikan, perceraian, masalah dalam pekerjaan, hingga masalah percintaan.

Konferensi ini mengangkat tema khusus, Culture and Suicide. Faktor budaya mempunyai pengaruh yang sangat kuat. Sebagian besar negara2 yang memiliki angka bunuh diri yang tinggi ternyata mempunyai budaya yang mendukung tindakan bunuh diri. Misalnya, di Jepang yang menganggap bahwa bunuh diri (seppuku/harakiri) adalah cara yang terhormat bagi seseorang untuk menyelesaikan permasalahn hidup mereka.

Selain itu, faktor agama ternyata juga mempunyai peran dalam kasus bunuh diri. Dari data WHO menunjukkan bahwa negara2 muslim ternyata mempunyai angka bunuh diri yang sangat rendah. Ada salah satu makalah yang menarik yang dipresentasikan oleh peserta dari Malaysia. Dia meneliti angka bunuh diri pada masyarakat India di Malaysia. Hasilnya menunjukan bahwa para warga keturunan INdia yang beragama Islam memiliki angka percobaan bunuh diri yang paling rendah disusul warga keturunan India yang beragama Kristen. Sementara warga keturunan India yang beragama Hindu memiliki angka percobaan atupun tindakan bunuh diri yang sangat tinggi. Hampir dua atau tiga kali lipat dari yang beragama Islam dan kristen.

Terkait topik budaya dan bunuh diri, tim dari Yogyakarta, pak Bandi, bu Ida (psikiater di Gunung Kidul) dan saya menulis paper budaya Pulung Gantung. Budaya inilah yang membuat angka bunuh diri di daerah Gunung Kidul (GK) sangat tinggi. Kasus bunuh diri di GK paling banyak terjadi di kalangan lansia, orang dewasa, bahkan kecenderungan bunuh diri di kalangan remaja dan anak-anak di GK semakin meningkat. Ini merupakan masalah kesehatan mental yang serius di GK. Semoga sebentar lagi ada psikolog yang bekerja di puskesmas di sana dan ini menjadi tantangan untuk kita bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar